Sejarah
Tombak Kyai Upas
Tombak Kyai Upas adalah pusaka Kabupaten Tulungagung.
Sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Babad Tulungagung, menurut latar
belakang budayanya atau cerita rakyat dari versi keluarga Raden Mas
Pringgo Kusumo Bupati Tulungagung yang ke X. Konon, pada akhir
pemerintahan Mojopahit banyak keluarga Raja yang membuang gelarnya
sebagai bangsawan, dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah dan Jawa
Barat.
Salah seorang kerabat Raja bernama Wonoboyo melarikan diri ke
Jawa Tengah dan babat hutan disekitar wilayah Mataram dekat Rawa
Pening-Ambarawa. Setelah membabat hutan Wonoboyo bergelar Ki Wonoboya.
Selanjutnya hutan yang dibabad itu dikemudian hari menjadi suatu
pedukuhan yang sangat ramai. Dan sesuai dengan nama putranya, oleh Ki
Wonoboyo dukuh itu dinamakan Dukuh Mangir.
Pada suatu hari, Ki Wonoboyo mengadakan selamatan bersih desa.
Banyak para muda-mudi yang datang membantu. Namun ada salah satu diantara
pemudi yang lupa tidak membawa pisau, dan terpaksa meminjam kepada Ki
Wonoboyo. Ki Wonoboyo tidak keberatan, gadis itu dipinjami sebuah pisau
namun ada pantangannya, yakni jangan sekali-kali pisau itu ditaruh
dipangkuannya. Tetapi gadis itu lupa. Pada saat ia sedang beristirahat,
pisau itu ditaruh dipangkuannya. Namun tiba-tiba pisau itu lenyap. Dengan
hilangnya pisau tersebut sang gadis itu hamil. Ia menangis, dan
menceritakan persoalannya kepada Ki Wonoboyo. Alangkah prihatinnya Ki
Wonoboyo. Yang selanjutnya beliau bertapa dipuncak Gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan, betapa lebih
terkejutnya sang ibu, karena bukannya jabang bayi yang
dilahirkan-melainkan seekor ular naga. Namun bagaimanapun keadaannya ia
tetap anak bagi seorang ibu. Dan ular Naga itu diberi nama Baru Klinting,
yang berikutnya dibesarkan di Rawa Pening. Baru Klinting punya jiwa dan
bahkan bisa berbicara seperti layaknya manusia. Setelah dewasa, kepada
ibunya ia bertanya tentang siapa dan dimana ayahnya. Dijawablah oleh sang
ibu, jika ayahnya adalah Ki Wonoboyo dan saat ini sedang melakukan tapa
di puncak Gunung Merapi.
Atas ijin ibu, berangkatlah Sang Naga mencari ayahnya. Namun
setelah sampai ketempat tujuan, alangkah kecewanya Baru Klinting. Karena
bukannya pengakuan Ki Wonoboyo sebagai ayah, tetapi sebuah cacian “Tak
mungkin Wonoboyo mempunyai anak seekor ular“. Baru Klinting tetap bersikukuh,
maka Ki Wonoboyo mengajukan sebuah tuntutan: lingkarilah puncak merapi.
Karena untuk mendapatkan pengakuan diri sebagai anak Ki
Wonoboyo, diturutinyalah permintaan ayahnya. Ketika kurang sedikit, Baru
Klinting menjulurkan lidah untuk menyambung antara kepala dan ujung
ekornya, tiba-tiba Ki Wonoboyo memotong lidah itu. Berubahlah lidah ular
raksasa itu menjadi sebilah mata tombak. Yang akhirnya Baru Klinting
melarikan diri dan dikejar oleh Wonoboyo. Baru Klinting, selanjutnya
menceburkan diri ke laut selatan dan berubah wujud menjadi sebatang kayu.
Diambilnya kayu itu oleh Wonoboyo dan dipergunakan sebagai “landean“ atau
batang tombak, dan tombak itu diberinya nama Kyai Upas.
Sepeninggalan Ki Wonoboyo akhirnya tombak itu dimiliki oleh
putranya yang bernama Mangir. Dan dengan tombak pusaka Kyai Upas, Mangir
bergelar nama “Ki Ajar Mangir“. Kini Mangir menjadi sakti. Desanya
menjadi ramai, dan memutuskan untuk tidak mau tunduk dengan Mataram.
Memisahkan diri, tidak mau terikat oleh kekuasaan Raja. Dengan sikap
Mangir yang seperti itu, pihak Keraton cemas. Tak mungkin Mangir
ditundukkan dengan cara kekerasan. Mangir sakti karena pusakanya.
Akhirnya, terambil kesimpulan oleh Raja Mataram utuk mengirim telik sandi
yang berpura-pura “mbarang jantur“ menyelidiki kelemahan Ki Ajar Mangir.
Putra-putri Raja dikorbankan untuk menjadi “Waranggono“ dan
masuk ke Dukuh Mangir. Tak sia-sia, Ki Ajar Mangir kena jebak. Setelah
putra mendiang Ki Wonoboyo itu mengetahui orang yang mbarang jantur,
dengan waranggononya yang canik-cantik dirinya terpikat dan berujung pada
niatnya untuk memperistri. Terjadilah perkawinan antara Ki Ajar Mangir
dengan Putri Raja.
Lama ia berumah tangga, hingga pada suatu hari Sang Putri
mengatakan pada suaminya, jika sebenarnya dirinya adalah Putri Raja. Kata
Putri, meskipun Raja Mataram adalah musuh dari pada Ki Ajar Mangir,
tetapi mengingat bahwa ia sekarang sudah menjadi menantunya, apakah tidak
sebaiknya jika putra menantu mau menghadap untuk menghaturkan sembah bekti.
Jika Ki Ajar Mangir memang dianggap bersalah, maka sang Putri bersedia
memintakan maaf. Karena didesak oleh sang istri, akhirnya dengan tombak
Kyai Upas juga berangkatlah mereka ke Keraton untuk sungkem pada orang
tua.
Namun karena tujuan pokok kedatangannya ke Mataram untuk
menghaturkan sembah bekti menantu kepada orang tua, maka para penjaga
pintu gerbang-melarang Kyai Upas dibawa masuk ke Keraton.
Ketika Ki Ajar Mangir sedang menghaturkan sungkem, kepalanya
dipegang oleh mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduk yang terbuat
dari batu Pualam, sehingga Ki Ajar Mangir tewas seketika itu juga.
Selanjutnya Mangir dimakamkan dalam posisi badan-separo didalam tembok
dan separo diluar tembok Keraton. Dan itu menandakan, meskipun
musuh-tetapi Ki Ajar Mangir juga anak menantu.
Sepeninggalan mendiang Ki Ajar Mangir itu, Mataram terserang
pagebluk dan itu sebabkan oleh Tombak Kyai Upas. Adapun berikutnya, yang
kuat berketempatan tombak Pusaka itu adalah keturunan Raja Mataram yang
mejadi Bupati di Kabupaten Ngrowo (Tulungagung).
Menurut cerita kursi yang terbuat dari batu Pualam yang
dipakai untuk membenturkan kepala Mangir sampai sekarang masih ada, ialah
di Kota Gede dan dinamakan “Watu Gateng“.
Upacara
jamasan tombak kyai upas
Seperti lazimnya bulan suro, tombak pusaka Kyai Upas dimandikan (dijamas).
Tombak Kyai Upas merupakan pusaka Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal
bakal sejarah Kabupaten Tulungagung.
Upacara didahului dengan iring-iringan reog gendang mengawal para dayang pembawa air dari 9 mata air menuju Pendopo Kanjengan, Kelurahan Kepatihan. Air tersebut lalu dicampur dengan kembang setaman, untuk air pemandian. Dengan pengawalan ketat dari para prajurit, tombak dikeluarkan dari ruang pusaka dan dibawa ke halaman belakang.
Dalam prosesi pencucian ini, ada sejumlah larangan. Di antaranya kaum perempuan tidak boleh melihat langsung selama pencucian. Sebab seperti keyakinan turun temurun, Kyai Upas berjenis kelamin laki-laki dan pantang dilihat perempuan saat dimandikan. Meski demikian, antusiasme warga menjadikan pantangan tersebut seolah tak berlaku.
Selama prosesi pencucian Kyai Upas diiringi dengan lantunan ayat suci Al Quran, serta alunan gamelan Jawa. Perpaduan keduanya membawa suasana yang khidmat selama prosesi.
Usai acara jamasan, masyarakat yang sejak tadi berjubel berebut air sisa jamasan Kyai Upas. Tak hanya air, sesajen seperti pisang, kelapa kuning dan perangkar sesajen lain menjadi rebutan mereka. Mereka percaya, ari serta sesajen upacara membawa berkah tersendiri.
Keyakinan akan berkah (tuah) air bekas cucian pusaka, membuat warga tidak lagi berfikir rasional jika air yang berwarna keruh kecoklatan tersebut mengandung racun warangan (arsenik) yang membahayakan jiwa.
Selain membasuhkan air jamasan pada bagian wajah agar bisa awet muda, atau menyiramkan pada bagian yang menderita penyakit, dengan tujuan lekas sembuh, tidak sedikit warga yang meminumnya. Tak heran, melalui loud speaker, panitia berteriak-teriak menyampaikan larangan keras agar jangan meminum air bekas jamasan.
“Jangan diminum! Awas jangan diminum, air itu berbahaya karena mengandung warangan,“ teriak salah seorang panitia.
Kasi Sejarah Nilai Tradisi Disparbudpora Kabupaten Tulungagung, Sri Wahyuni mengatakan, apa yang dilakukan Pemkab sebagai upaya melestarikan budaya bangsayang juga bagian wisata sejarah. Sri berharap, kegiatan kebudayaan ini jangan menabrak nilai-nilai keagamaan yang ada.
Berdasarkan babad Tulungagung, pendopo kanjengan adalah tempat bupati pertama menjalankan pemerintahan, sebelum pindah ke sebelah utara alun-alun kota. Sedangkan Pusaka Kiai Upas yang berwujud tombak ini berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam.
Kiai Upas merupakan pusaka milik Ki Ageng Mangir, menantu Raja Mataram yang menolak tunduk dengan kekuasaan (Mataram). Pemberontakan Mangir berhasil dipadamkan setelah Ki Ageng Mangir terbunuh. Tombak Kiai Upas sendiri dikuasai oleh Mataram.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar